Arsip untuk April 15, 2011


PENGARUH PENGAJIAN TERHADAP PEMBENTUKAN

 KEPRIBADIAN DAN INTEGRASI KELOMPOK

 

Tugas ini Disusun Untuk Memenuhi

Tugas Kelompok Mata Kuliah Sosiologi Islam

Dosen Pengampu : Dadi Nurhaedi

Di susun oleh:

Baiq Dian Hurriyati (10720026)

Bodro Sigit Rahwono (10720008)

Panggah Rihandoko (10720020)

JURUSAN SOSOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2011

KATA PENGANTAR

            Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan nikmat, berkah, dan rahmatNya sehingga kami dapat menyusun makalah Mini Riset dengan judul ”Pengaruh Pengajian Terhadap Pembentukan Kepribadian dan Integrasi Kelompok”.

            Shalawat serta salam tidak lupa kita sampaikan kepada Rasulullah saw,  yang telah membebaskan kita dari zaman yang penuh kezaliman dan kebodohan dan membawa kita menuju zaman yang sarat dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat ini.

Pada kesempatan ini tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dadi Nurhaedi selaku dosen mata kuliah Sosiologi Islam yang telah menjadi pembimbing kami dalam penelitian, serta pihak-pihak lain yang terkait dalam proses pembuatan makalah mini riset ini secara langsung maupun tidak langsung. Semoga haki mini riset kami ini dapat memberikan manfaat kepada kami selaku penyusun, para pembaca, dan semua pihak masyarakat.

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini, masih terdapat banyak kekurangan sehingga hasil yang diperoleh jauh dari sempurna. Oleh sebab itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan.

Yogyakarta, April 2011

Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.     Penegasan Judul

Penelitian ini berjudul “ Pengaruh Pengajian Terhadap Pembentukan  Kepribadian dan Integrasi Kelompok ”, penelitian ini akan membahas berbagai hal tentang pengaruh pengajian terhadap individu dalam kelompok tersebut dilihat dari berbagai perspektif. Penelitian ini dilakukan di dua kelompok yang berbeda yaitu kelompok pemuda yang usianya berkisar antara 19-25 tahun dan kelompok pengajian yang anggotanya umumnya berumur 40 keatas. Hasil penelitian ini akan dikomparasikan untuk saling melengkapi dalam rangka melakukan pembacaan terhadap kelompok keagamaan.

        1. Pengajian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengajian berarti pengajaran (agama Islam). Dapat didefinisikan, pengajian merupakan usaha untuk menanamkan nilai-nilai islam dimana dalam pengajian ini terdapat interaksi antara ustadz (guru) sebagai agen sosialisasi dan jamaah (anggota) sebagai objek sosialisasi. Pengajian merupakan salah satu proses pentransferan (sosialisasi) nilai atau norma-norma kelompok terhadap para anggota baru, agar nantinya dapat diinternalisasikan oleh anggota baru tersebut yang nantinya dijadikan standar  pedoman dan perilaku.

       2. Kepribadian

Kepribadian adalah integrasi dari keseluruhan kecenderungan seseorang untuk berperasaan, berkehendak, berpikir, bersikap, dan berbuat menurut pola tingkah pekerti tertentu.[1] Jadi kepribadian adalah kecenderungan psikologi seseorang untuk melakukan sesuatu menurut standar dan pedoman perilaku yang dianut oleh individu. Kepribadian ini timbul karena adanya sosialisasi yang diberikan oleh kelompok sosial kepada anggota baru yang merupakan proses yang berjalan secara intensif dan dalam waktu yang lama.

        3. Integrasi

Integrasi adalah penyatuan menjadi suatu keasatuan yang utuh. Jika kita melihat dalam buku Muqaddimah ibnu Khaldun solidaritas atau integrasi merupakan suatu proses adaptasi untuk mempertahankan diri dari keadaan alam yang sulit, hidup yang berat, mempertahankan diri dari serangan bangsa lain ataupun untuk melindungi kelompok mereka. Menurut pengamatan Emile Durkheim pada revolusi industri, solidaritas mekanik terjadi dalam masyarakat tradisional dimana integrasi (Ashabiyah) ditentukan oleh primordial yaitu berupa silsilah kekerabatan, agama dan komunitas. Sedangkan solidaritas organis terjadi dimasyarakat modern, dimana solidaritas mekanis diganti oleh pembagian kerja yang kompleks, namun dalam kenyataannya solidaritas mekanik tersebut tidak hilang sepenuhnya melainkan melangkapi kekompleksan solidaritas organik.

         B. Latar Belakang

Kelompok sosial merupakan representasi dari individu, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang memiliki naluri untuk hidup bersama dengan manusia lain (gregeriousness) dan memiliki hasrat menjadi satu dengan lingkungan alamnya. Jika kita melihat sejarah islam di abad klasik maupun di abad pertengahan kelompok keagamaan memiliki peran yang sangat penting dalam menyebarluaskan falsafah islam maupun membangun peradaban. Melalui diskusi-diskusi atau pengajaran mereka  menghasilkan berbagai intelektual muslim, membangun ilmu pengetahuan dan peradaban islam.

Di era modern ini kelompok keagamaan bukan hanya sekedar membahas masalah keagaman, tetapi juga membahas ekonomi, sosial, dan bahkan politik. Hal itu dibuktikan dengan sejarah Indonesia yang digerakkan atas nama kelompok agama yang merupakan bentukan dari diskusi-diskusi ataupun pengajian keagamaan yang diselenggarakan oleh kelompok tersebut. Selain itu juga terdapat segi negatif dari munculnya kelompok-kelompok pengajian keagamaan tersebut yaitu radikalisasi keagamaan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok islam garis keras.

Pengajian menempati posisi sentral dalam berjalannya suatu kelompok sosial, karena pengajian merupakan salah satu proses pentransferan (sosialisasi) nilai atau norma-norma kelompok terhadap para anggota baru, agar nantinya dapat diinternalisasikan oleh anggota baru tersebut yang nantinya dijadikan standar  pedoman dan perilaku. Pengajian dapat meningkatkan assobiyah (solidaritas) anggota karena berbagai persamaan baik itu idologi, cita-cita,  maupun musuh bersama.

Namun dewasa ini fungsi pengajian tidak hanya sebatas itu, tetapi terdapat juga fungsi laten lainnya, seperti fungsi ekonomi, sosial, dan bahkan politik. Pengajian tidak lagi mutlak sebagai tempat penyaluran atau bentuk tindakan rasionalitas nilai dari anggotanya. Hal inilah yang nantinya akan kami kami bahas dalam penelitian kami, yaitu bagaimana proses berlangsungnya kajian keagamaan dan pengaruhnya terhadap integrasi dan pembentukan kepribadian anggota, dan juga fungsi laten dari pengajian tersebut.

       C. Rumusan Masalah

  1. Bagaimanakah proses berlangsungnya penanaman nilai-nilai islam dalam kelompok tersebut?
  2. Bagaimanakah interaksi yang terjadi didalam kelompok sosial keagamaan tersebut?
  3. Bagaimanakah pengaruh pengajian tersebut terhadap integrasi dan apakah faktor-faktor pemersatu itu?
  4. Bagaimanakah pengaruh pengajian tersebut terhadap pembentukan karakter anggota?
  5. Apa motivasi anggota pengajian bergabung dengan kelompok sosial keagamaan tersebut?

       D. Tujuan Penelitian

  1. Mengetahui bagaimana proses sosialisasi nilai-nilai islam, yang meliputi aspek sosialisasi,  internalisasi, eksternalisasi, objektifikasi.
  2. Bagaimana pola interaksi yang terjadi antara agen sosialisasi (ustaz/ustazah) dan objek sosialisasi (anggota pengajian).
  3. Mengetahui dampak dari pengajian tehadap pembentukan kepribadian dan intensitas integrasi.

        E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara teoritis dapat digunakan sebagai bahan pembelajan mahasiswa untuk lebih mengetahui bagaimana kelompok keagaman menjalankan aktivitasnya, baik proses interaksi, sosialisasi, maupun integrasinya dilihat dari berbagai perspektif teori. Selain itu penelitian ini juga dapat digunakan sebagai pengayaan sosiologi islam yang nantinya digunakan sebagai pembangunan konsep sosiologi islam di UIN Sunan Kalijaga. Secara praxis dapat digunakan sebagai pengembangan dan pembangunan pengajian-pengajian islam dalam rangka meningkatkan kualitas umat islam secara umum.

       F. Hipotesis

Kelompok pengajian agama mempengaruhi pembentukan kepribadian anggota kelompok dan integrasi antar anggotanya, dimana pengaruh tersebut memiliki karakteristik berbeda dari kelompok sosial nonagama, misalnya kelompok pertemanan, ataupun kelompok profesi.

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

LANDASAN TEORI

 

Teori yang kami gunakan dalam mengkaji kelompok sosial keagamaan ini adalah teori Integrasi Emile Durkheim, untuk pembentukan kepribadian anggota kelompok sendiri akan kami gunakan teori kelompok social. Teori lain yang kami gunakan untuk mendukung analisis data penelitian kami adalah teori tindakan sisoal Max Weber.

  1. A.    Integrasi Sosial

Integration (integrasi) memiliki beberapa pengertian : (1)salah satu masalah kekal sosiologi klasik adalah bagaimana berbagai elemen masyarakat menjaga kesatuan, bagaimana mereka berintegrasi dengan satu sama lain. Dua pemikiran penting adalah: integrasi karena nilai-nilai bersama sesuai teori fungsionalisme (functionalism) dan integrasi karena saling ketergantungan sesuai teori pembagian kerja (divition of labour). Konsep ini dikritik karena seakan-akan menyiratkan pandangan tentang masyarakat yang terlalu terpadu dan mengabaikan kemungkinan konflik. Perkembangan konsep integrasi sosial dan sistem (social and system integration) adalah upaya untuk memajukan diskusi tentang bagaimana elemen-elemen masyarakat menjaga atau tidak menjaga kesatuan. (2) Integrasi juga merujuk pada proses yang mana berbagai ras yang berbeda menjadi lebih erat secara sosial, ekonomi, dan politik.

 

  1. B.     Kelompok Sosial

Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama, karena adanya hubungan di antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling memengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong. (Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. 2010)

Kelompok sosial memiliki banyak klasifikasi. Kelompok-kelompok sosial terdiri dari kelompok-kelompok yang terorganisasi dengan baik sekali seperti negara, sampai pada kelompok-kelompok yang hampir-hampir tak terorganisasi misalnya kerumunan. Dalam hal ini, kelompok sosial keagamaan yang kami teliti yaitu kelompok pengajian, termasuk ke dalam kelompok sosial paguyuban (gemeinschaft). Paguyuban merupakan bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Kelompok paguyuban dapat dilihat dalam keluarga, kelompok kerabatan, rukun tetangga, juga termasuk kelompok pengajian. Tonnies mengatakan suatu paguyuban memilki ciri-ciri pokok, yaitu:

  1. Intimate, yaitu hubungan yang menyeluruh dan mesra.
  2. Private, yaitu hubungan yang bersifat pribadi, khusus untuk beberapa orang saja.
  3. Exclusive, yaitu hubungan tersebut hanyalah untuk “kita” saja dan tidak untuk orang-orang di luar “kita”.

Dalam paguyuban terdapat suatu kemauan  bersama (common will), ada suatu pengertian (understanding) serta juga kaidah-kaidah yang timbul dengan sendirinya dari kelompok tersebut. Kelompok sosial paguyuban juga terbagi menjadi tiga tipe. Tipe pertama, paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood), contohnya keluarga, kelompok kekerabatan. Tipe ke dua, paguyuban karena jiwa-pikiran (gemeinschaft by mind). Dan tipe terakhir adalah paguyuban karena tempat (gemeinschaft by place), yaitu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang berdasarkan tempat tinggal sehingga dapat saling tolong-menolong, contohnya rukun tetangga, rukun warga. Termasuk contoh  paguyuban karena jiwa pikiran adalah pengajian. Karena hubungan yang terjadi antaranggota pengajian sangat erat (khusunya pengajian ibu-ibu yang kami teliti). Hubungan antaranggota pengajian sangat intim, bahkan bisa dikatakan mereka telah mengenal secara baik sesama anggota.

  1. C.    Tindakan Sosial

Dalam berinteraksi dengan orang lain, maka seseorang akan melakukan tindakan sosial. Weber bahkan menjadika tindakan sosial sebagai objek kajian sosiologi. Tapi yang dimaksud dengan tindakan sosial di sini adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu memiliki makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Weber membagi tindakan sosial menjadi empat tipe:

  1. Zwerk Rational atau tindakan sosial rasional instrumental. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekadar menilai cara yang baik untuk mencapai tujuannya, tetapi juga menentuka nilai dari tujuan itu sendiri. Tindakan yang didasarkan karena adanya instrumen, kepentingan, atau tujuan tertentu. Contohnya kegiantan ekonomi dan politik.
  2. Werkrational action atau tindakan rasionalitas nilai. Tindakan yang dilakukan sebagai tujuan akhir itu sendiri. Tindakan karena adanya doktrin tertentu atau komitmen. Dalam tindakan ini, aktor tidak mampu menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan yang paling tepat, ataukah lebih tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Namun tindakan ini rasional, karena pilihan terhadap cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang diinginkan.
  3. Affectual action atau tindakan afektual. Tindakan ini ditampilkan oleh aktor hanya untuk menunjukkan emosi. Tindakan ini dibuat-buat, dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami, kurang atau tidak rasional.
  4. Traditional action atau tidakan tradisional. Tindakan yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu atau tindakan yang diwariskan (given).

Tindakan sosial yang dilakukan kelompok pengajian termasuk dalam tindakan sosial werkrational action atau rasionalitas nilai. Namun dalam kasus kami, anggota kelompok pengajian yang kami teliti tidak hanya memiliki motif tindakan rasionalitas nilai atau hanya semata-mata mengharapkan pahala dari Allah. Meskipun sebagian anggota memilki motif tersebut, namun ada beberapa tindakan lainnya yang dilakukan oleh para anggota pengajian dalam mengikuti kegiatan dalam kelompok sosial keagmaan tersebut.

BAB III

METODE PENELITIAN

 

  1. A.    Pendekatan Penelitian

Pada penelitian ini kami menggunakan pendekatan kualitatif. Yaitu pendekatan yang berusaha menangkap kenyataan sosial secara keseluruhan, utuh, dan tuntas sebagai suatu kesatuan kenyataan. Menurut pendekatan ini, objek penelitian dilihat sebagai kenyataan hidup yang dinamis. Sehingga dengan penelitian ini data yang diperoleh tidak berupa angka-angka, tetapi lebih banyak deskripsi, ungkapan, atau makna-makna tertentu yang ingin disampaikan. Adapun penambahan sedikit tabel hanya kami gunakan sebagai pelengkap data deskriptif saja.

Dalam pendekatan ini kami menggunakan penelitian deskriptif. Deskriptif dimaksud untuk mendeskripsikan suatu situasi. Pendekatan deskriptif juga berarti untuk menjelaskan fenomenaatau karakteristik individual, situasi, atau kelompok sosial secara akurat.

  1. B.     Penentuan Populasi Sampel

Subjek dalam penelitian kami adalah kelompok sosial keagamaan yang diambil dari dari dua kelompok keagamaan yang berbeda yang pertama adalah kelompok pengajian usia lanjut yang berumur 40 tahun keatas dan kelompok pengajian mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang kebanyakan anggotanya berasal dari organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).  Dari sini nanti akan kami komparasikan diantara keduanya sehingga menghasilkan sintesis yang lebih akurat dalam mengkaji kelompok keagamaan tersebut.

  1. C.    Metode Pengumpulan Data

Data yang kami gunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Yaitu data yang didapat langsung dari lapangan. Dalam penelitian ini data primer didapat dengan cara observasi dan wawancara (interview).

  1. Metode Interview

Interview adalah wawancara atau dialog yang dilakukan oleh peneliti dan subjek penelitian yang bersifat dua arah, adapun pertanyaan telah terlebih dahulu disistematisasi sesuai dengan tema penelitian, pertanyaan secara fleksibel dapat berubah sesuai dengan arah pembicaraan agar tidak menimbulkan kecanggungan subjek kajian.

  1. Metode observasi

Observasi adalah teknik penelitian dengan melakukan pengamatan subjek kajian secara langsung turun kelapangan, untuk mengkaji subjek kajian dengan menelaah perilaku dan interaksi subjek kajian secara spontan dan alamiah. Teknik ini menggunakan verstehen (pemahaman) secara mendalam terhadap subjek kajian, melalui inilah peneliti berusaha menjelaskan realitas dengan berusaha memperkecil atau bahkan menghilangkan subjektifitas peneliti.

  1. D.    Instrumen Penelitian

Panduan pertanyaan (terlampir)

  1. E.     Analisis Data

Analisis yang kami pakai dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif (penggambaran), karena data yang kami kumpulkan untuk mengkaji data bersifat kualitatif. Dimana hasil tersebut merupakan hasil dari interview atau wawancara secara langsung terhadap objek penelitian yang dilakukakan secara sistematis.

 

 

 

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

  1. A.    Gambaran Umum Pengajian

           

  1. 1.      Kelompok Pengajian Mahasiswa

Kelompok pengajian yang kami teliti adalah salah satu kelompok pengajian mahasiswa yang dominan berdomisili di daerah Sapen, atau kelompok mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.

Jika dilihat dari latar belakang anggota pengajian umumnya mereka sejak kecil telah mendapat pengajaran islam yang kuat, jika dilihat secara latar belakang akademik mereka berasal dari sekolah-sekolah islam sehingga mereka tidak merasa canggung lagi dengan ajaran-ajaran islam yang didiskusikan dalam pengajian tersebut. Ketika ditanya tentang motivasi mereka mengikuti kelompok pengajian, mereka menjawab secara normatif misalnya karena menuntut ilmu agama, mengharap ridha Allah, dan lain sebagainya. Tetapi jika ditelaah terlebih dalam lagi ternyata hal tersebut tidak lepas dari riwayat pendidikan para anggota yang memang telah diajarkan nila-nilai keagamaan sejak kecil.

Adapun data riwayat pendidikan mereka sebagai berikut.

Nama Riwayat Pendidikan dan Pengalaman keagamaan
Rusdi SD, MTS, MA (sebelumnya juga aktif dalam kelompok pengajian)
Hirman Pondok dan Sekolah
Muzaki Hartawan MA
Akbar SMA sekaligus aktivis dakwah
Arif Suyanto MA
Fadli SD, MTS, MA
M. Anwar S. SMA Islam Terpadu
M. Jamaludin MA

Para anggota pengajian tersebut juga sangat plural dimana mereka berasal dari suku-suku yang berbeda yang tentunya memiliki berbagai perbedaan kultur, bahasa, kebiasaan, maupun karakter. Jumlah anggota pengajian tersebut umumnya  berkisar tujuh orang dengan satu murabbi (guru), dalam pengajian mahasiswa ini terdapat banyak kelompok yaitu 12 kelompok pengajian, yang masing-masing kelompok memiliki pengajarnya masing-masing, pembatasan anggota bertujuan untuk lebih memfokuskan kegiatan belajar mengajar. Pengajarnya atau ustadnya memiliki kelompok pengajian juga, dimana pengajarnya satu tingkatan diatas mereka, jadi model pengajian kelompok ini bertingkat.

Pengajian ini diwali dengan tahfidz (hafalan) ayat-ayat al-qur’an kemudian dilangsungkan dengan ceramah singkat yang dibawakan oleh anggota pengajian. Adapun pembagian kerja para anggota telah ditentukan terlebih dahulu misalnya pembawa acara, ceramah singkat anggota dan lain sebagainya. Untuk tempat sendiri pengajian ini tidak hanya dilakukan disatu tempat melainkan berpindah-pindah sesuai dengan keadaan, kadangkala dilakukan di masjid-masjid ataupun kadangkala dilakukan dikediaman anggota. Untuk pendanaan kegiatan mereka melakukan infak atau iuran disetiap pertemuannya, uang tersebut digunakan sebagai alat untuk memeperlancar agenda kelompok misalnya acara malam ibadah, olahraga, buka bersama, ataupun sebagai cadangan untuk membantu anggota  kelompok tersebut jika terjadi suatu hal yang tidak diinginkan.

Disetiap pertemuannya ustadz memberikan angket penilaian ibadah (lembar mutaba’ah) yang dilakukan oleh anggota sebagai bahan evalalusi penerapan keilmuan islam, misalnya berapa kali solat jamaah, sunah, puasa dan ibadah-ibadah yang lainnya.

Posisi atau kedudukan ustadz dalam pengajian itu sebagai pengajar namun terdapat interaksi yang sejajar antara mereka, artinya ustad tidak dikultuskan atau diagung-agungkan seperti halnya islam tradisional. Karena latar belakang pendidikanlah mereka cenderung bersikap rasional dalam memandang sesuatu, dari hasil wawancara ustadz mengatakan bahwa “tidak ada pengkultusan terhadap guru dalam kelompok ini, kami saling bertukar ilmu keagamaan karena pada dasarnya masing-masing dari kami masih memiliki berbagai kekurangan sehingga kami saling melengkapi”.[2]

Dalam proses pengajian yang kami observasi kami menelaah suatu fakta yang cukup menarik, yaitu meskipun kedudukan ustadz dianggap setara namun ada pola ketimpangan komunikasi yang diwujudkan dalam doktrinansi. Para anggota tidak mengkritisi secara mendalam apa yang diajarkan oleh ustadz, karena pemahaman mereka yang bersifat normatif dan cenderung mudah dibentuk dan diarahkan oleh ustadz. Ruang kosong inilah (doktrinasi) ini menjadi lebih efektif dan dengan mudah diinternalisasi anggota. Sehingga jika ruang doktrinasi ini disalah gunakan untuk menanamkan idiologi radikal maka akan dengan mudah diinternalisasi anggota dikarnakan anggota cenderung menerima doktrin tersebut.

Diakhir pengajian meraka saling membahas permasalahan yang sedang dihadapi, misalnya masalah-masalah dikampus ataupun diluar kampus. Melalui pembicaraan itulah mereka memecahkan masalah-masalah yang ada pada setiap anggotanya mereka saling membantu dalam member solusi pada masalah tersebut. Selain kegiatan dalam forum pengajian, terdapat juga berbagai agenda diluar forum pengajian tersebut misalnya, olahraga bersama, jalan-jalan (rihlah), bahkan kegiatan seperti out bound dan pramuka.

  1. 2.         Kelompok Pengajian Ibu- Ibu

Kelompok pengajian ibu-ibu yang kami teliti adalah kelompok pengajian ibu-ibu yang terdapat di daerah Sapen. Kelompok pengajian ini telah lama berjalan. Menurut penuturan salah satu ibu-ibu yang kami wawancarai, pengajian ini teah ada sejak sekitar empat tahun yang lalu. Pengajian ini rutin, diadakan setiap hari, namun tidak di satu tempat. Waktu pengajian biasanya diadakan pagi hari, kecuali hari jumat yang diadakan sore hari. Pengajian ini tidak terlalu lama, hanya sekitar satu jam-an. Mulai dari jam empat sampai jam lima sore. Hari kamis dan minggu diadakan di masjid Sapen.

Berbeda halnya dengan kelompok pengajian pertama, latar belakang yang dimiliki oleh anggota kelompok pengajian ibu-ibu ini tidak jelas. Karena sebagian besar anggota yang mengikuti pengajian tersebut mayoritas anggota pengajian terdiri dari mbah-mbah yag sudah sepuh dan ibu-ibu paruh baya. Susunan kegiata di pengajian ini dimulai dari membaca shalawat nariyah, lalu membaca tahlil, kemudian doa. Semua bacaan-bacaan amalan itu dipimpin oleh seorang “hajjah”yang sangat disegani karena dianggap mumpuni di antara mereka. Setelah membaca amalan-amalan tersebut, kegiatan selanjutnya adalah pengumuman dari pemimpin acara (semacam MC). Pengumuman yang disampaikan mengenai jumlah infaq yang terkumpul, jumlah uang kas mereka. Juga pengumuman-pengumuman lain yang berhubungan dengan kelompok pengajian mereka. Kegiatan mereka selanjutnya diisi dengan tausyiah oleh seorang ustazah yang mengampu pengajian tersebut (sekaligus tuan rumah tempat pengajian itu berlangsung). Isi tausyiah yang disampaikan sebagaimana taisyiah-tausyiah pengajian pada umumnya. Berkisar surga, neraka, dan ibadah kepada Allah. Si ustazah juga menyampaikan tentang cara bergaul dalam masyarakat dengan baik, terkadang diselingi dengan membahas isu-isu politik atau berita terhangat yang terjadi di negeri ini.

Bahasa yang digunakan selama pengajian berlangsung baik itu pengumuman, dan tausyiah-tausyiah yang disampaikan semuanya menggunkan bahasa Jawa. Karena anggota pengajian kebanyakan orang-orang tua dan sebagian dari mereka tidak mengerti bahasa Indonesia, jadi untuk mempermudah pemahaman dan pengajian terasa lebih santai serta tidak kaku, maka digunakan bahasa Jawa. Selama pengajian berlangsung, mereka mendengarkan tausyiah dengan seksama, dan terlihat sangat patuh pada si pemberi tausyiah. Di tengah-tengah acara, diedarkan kaleng infaq. Selain infaq mereka juga mengeluarkan uang kas. Uang kas tersebut nantinya bisa dipinjam oleh anggota pengajian bila membutuhkan uang.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, anggota pengajian yang mayoritas mbah-mbah memiliki beragam alasan atau motivasi mengikuti pengajian diantaranya alsan  “standar”, maksudnya alasan kebanyakan orang melakukan kegiatan keagamaan seperti ikut pengajian, yaitu mencari pahala dan ridho Allah (tindakan rasionalitas nilai). Alasan lainnya yang dikemukakan oleh para anggota adalah untuk bersosialisasi dan mengeratkan rasa kebersamaan antarwarga, terutama warga Sapen. Menurut mereka dengan adanya pengajian seperti ini sangat membantu mereka dalam berbagai hal. Terutama dalam hal sosial kemasyarakatan, dan tidak dipungkiri sedikit membantu mereka dalam perekenomian, misalnya saja mereka bisa meminjam uang kas pengajian jika sedang membutuhkan uang.

Kelompok pengajian ini juga membentuk integrasi yang kuat diantara mereka sesama warga Sapen. Hal ini juga didukung dengan tausyiah-tausyiah yang diselipi pembahasan mengenai masalah atau sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitar mereka, meskipun hal-hal kecil sekalipun. Misalnya saja mengenai selokan yang tersumbat, atau tentang si ibu ini yang sedang menghadapi musibah dan sebagai sesama muslim harus saling membantu. Atau mengenai cara bergaul dengan tentangga yang baik. Dalam pegajian tersebut, para anggota bisa saling berinteraksi satu sama lain, dan selama interaksi berlangsung, maka perlahan akan terbentuk integrasi yang kuat diantara mereka. Karena rasa “sejalan” satu sama lain. Semakin mereka sering bertemu dalam suatu pertemuan, maka rasa kesatuan yang berbasis kekeluargaan akan semakin kuat, dan menciptakan rasa solidaritas yang kuat antar anggota dalam kelompok tersbut. Intensitas pertemuan yang setiap hari dari pegajian ini akan  mendorong semakin kuatnya solidaritas dan penyatuan intern dalam kleompok.

Kami melihat selama observasi, anggota pengajian sangat mendengarkan apa yang dikatakan oleh si ustazah yang memberikan ceramah. Dengan kata lain, ustazah yang memberikan tausyiah dalam pengajian tersebut dapat dikatakan sebagai ketua kelompok yang mampu memegaruhi para anggotanya, bahkan bisa dikatakan dia mempunyai kendali atas anggota-anggota kelompok pengajian tersebut, yang kata-katanya akan didengar dan dipatuhi oleh anggotanya. Kelompok pengajian tersebut membentuk karakter anggotanya melalui tausyiah-tausyiah. Pada intinya anggota kelompok pengajian tersebut mengaplikasikan apa yang didapat dari pengajian tersebut. Jika suatu kelompok memiliki seorang ketua yang dipatuhi atau disegani, maka kelompok tersebut akan mudah diorganisir. Dalam penelitian kami mengenai kelompok pengajian ini, teori mengenai kelompok dan ketua kelompok tersebut sesuai. Ustazah yang meberikan tausyiah bisa mengorganisir anggota pengajian dalam artian mereka benar-benar mengaplikasikan apa yang mereka dapat di pengajian tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun tidak semua yang mereka dapat realisasikan. Sedangkan mengenai integrasi mereka, seperti yang telah dibahas di atas, integrasi di antara anggota kelompok pengajian tersebut bisa terjadi karena adanya pemikiran yang sama, idealisme dan “jalan” yang sama.

  1. B.     Motivasi Anggota Pengajian Mengikuti Kelompok Sosial Keagamaan (Pengajian)
    1. Motivasi Mahasiswa

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, Pada kelompok pengajian mahasiswa, sebagian besar anggotanya memiliki motivasi atau alasan normatif dalm mengikuti pengajian tersebut, alasan untuk mendapatkan ilmu dan memperdalam ilmu agama. Namun hal itu tidak lepas dari sosialisai keagamaan yang telah terlebih dulu ditanamkan sejak kecil sehingga mereka lebih mudah dalam melakukan adaptasi terhadap kelompok.

  1. Motivasi Ibu-Ibu

Terdapat beragam motivasi di antara anggota pengajian yang mengikuti pengajian tersebut. Beragamnya motivasi yang ada disebabkan karena perbedaan kepentingan yang ada di antara anggota kelompok tersebut. Perbedan kepentingan itu juga dipengaruhi oleh perbedan anggapan terhadap fungsi pengajian. Ada saja ibu-ibu yang ikut pengajian hanya karena ibu-ibu di sekitarnya mengikuti pengajian tersebut (ikut-ikutan), juga alasan ekonomi, alasan sosial, dan alasan-alasan lainnya. Alasan-alasan ini adalah implikasi dari fungsi laten pengajian tersebut, misalnya saja, pengajian selain sebagai sarana mendapatkan ilmu agama, juga menjadi sarana sosialisasi antar anggota.

Namun alasan mayoritas tetap saja ingin mencari ridha Allah. Jika melihat alasan ini, dapat dikatakan tindakan yang dilakukan oleh anggota kelompok sosial keagamaan tersebut adalah tindakan rasionalitas nilai. Jika melihat kegiatan yang ada dalam pengajian kelompok ibu-ibu tersebut, ada banyak kegiatan misalnya mengumpulkan uang kas, yang mana nantinya uang kas tersebut dapat dipinjam oleh anggota pengajian yag sedang membutuhkan uang. Hal ini bisa saja menjadi alasan anggota pengajian tersbut mengikuti pengajian itu, sudah menjadi alasan ekonomi. Ini terkait dengan para anggota ekonomi memandang apa sebenarnya fungsi pengajian tersebut. Jadi pada initinya motivasi yang dikemukakan oleh ibu-ibu anggota pengajian tersebut  beragam, namun tetap mayoritas mengikuti pengajian tersebut dengan alasan normatif (mencari pahala dan ridha Allah).

  1. C.    Proses Berlangsungnya Penanaman Nilai-Nilai Islam dalam Kelompok Pengajian

Dalam pengajian tersebut terdapat pengajaran atau transfer mengenai ilmu keislaman. Ilmu-ilmu ditransfer oleh si pengajar atau ustaz (murabbi). Dalam proses pentransferan itulah terdapat proses penanaman nilai-nilai. Nilai-nilai yang ditanamkan tentu saja nilai-nilai keislaman. Jika melihat menggunkan kaca mata orang islam, dengan pandangan subjektif, maka kita akan mengatakan bahwa nilai-nilai atau ajaran-ajaran yang terdapat dalam islam telah mencakup seluruh aspek kehidupan.

Proses penanaman nilai-niai yang dilakukan oleh si pengajar (agen sosialisasi) dilakukan dalam tausyiah-tausyiah yang diberikan kepada para anggota. Bahkan dengan sedikit doktrin keagamaan, yang akan menciptakan kepatuhan mutlak pada anggotanya. Namun hal tesebut juga berdampak baik, karena jika anggota kelompok sosial keagamaan tersebut telah mengerti dan telah tertanamkan nilai-nilai dalam dirinya, dan selanjutnya dengan mudah mengaplikasikannya. Jadi pada intinya proses penanaman nilai-nilai keislaman pada anggota pengajian tersebut melalui transfer ilmu atau “ceramah” dari si ustaz. Dengan bahasa lain, dakwah si ustaz pada anggota pengajian adalah proses penanaman nilai-nilai islam.

  1. D.    Pengaruh Pengajian Terhadap Integrasi dan Faktor- Faktor Pemersatu Antar Anggota
    1. 1.      Pengaruh Integrasi Mahasiswa

Agama merupakan salah satu alat integrasi dalam suatu masyarakat, karena dengan agama inilah mereka mengindentikan dirinya sesuai dengan kelompok tersebut, bahkan adakalanya kedudukan agama itu lebih tinggi sehingga sebagian besar konflik di Negara Indonesia umumnya mengatas namakan agama. Dalam kelompok mahasiswa yang kami teliti interaksi antar anggotanya bersifat intensif artinya mereka saling mengenal secara dalam atau dalam sosiologi dapat dikelompokkan sebagai kelompok primer.

Mereka saling mengetahui latar belakang anggota mereka mulai dari asal hingga hingga kegiatan teman-teman mereka. Setelah melakukan wawancara mereka dapat menjawab pertanyaan seputar agenda ataupun riwayat kehidupan teman-teman mereka. Diluar pengajian mereka masih melakukan interaksi secara intensif, dimana mereka disatukan dalam organisasi yang sama sehingga mereka sering bertemu untuk membahas berbagai agenda organisasi. Dalam kehidupan sehari-haripun sebagian dari mereka tinggal bersama teman-temannya, sehingga secara emosional semakin mendekatkan hubungan integrasi antar anggotanya.

Faktor agama  merupakan faktor yang paling besar dalam melakukan identifikasi diri anggotanya, bagi mereka sesama umat islam dianggap sebagai saudara sehingga mereka menginterpretasikan persatuan mereka sebagai suatu kewajiban yang mutlak bagi mereka. Jika ditelusuri dari segi interaksinya mereka saling memberi antara satu sama lain misalnya dalam konsumsi pengajian, uang konsumsi bukanlah uang yang dipakai dari infak, melainkan makanan yang dibawa para anggotanya untuk dimakan secara bersama-sama hal itu bukanlah merupakan suatu perintah ataupun saran dari ustadz. Bahkan kadang kala mereka saling bertukar hadiah kepada sesama anggota mulai dari buku ataupun barang-barang lainnya.

Para anggota tersebut sudah menganggap mereka itu sebagai keluarga sendiri ditanah perantauan, dan mereka saling membantu jika terjadi suatu hal, misalnya pinjam-meminjam uang, membantu permasalahan teman dan sebagai tempat berkeluh kesah bagi para anggota. Karena sebagaimana pembahasan diatas mereka diajarkan untuk bersifat terbuka kepada anggota yang lain dan membicarakan masalah-masalah anggota yang kemudian mereka pecahkan bersama. Proses integrasi ini kemudian meminimalisir kepentingn pribadi yang cenderung egoistik dan lebih mengutamakan kepentingan kelompok dan yang dianggap sama dengan golongan mereka.

  1. 2.      Pengaruh Integrasi Ibu-Ibu

Seperti yang telah dibahas sekilas di atas. Anggota pengajian memiliki rasa kesatuan yang tinggi karena merasa memilki ideologi, pemikiran, dan yang terpenting bagi ummat islam rasa ukhuwah antar ummat muslim sangat kuat. Hal ini juga dipengaruhi oleh doktrin agama, yang mengatakan bahwa ummat islam seperti satu bangunan. “bangunan” inilah yang dinamakan integrasi dalam kehidupan ummat islam. Bagi para anggota pengajian yang telah intensif menerima pengajaran serta ilmu-ilmu keislaman, maka tidak diragukan lagi, rasa ukhuwah yang mereka miliki terutama sesama anggota akan semakin kuat. Dalam hal ini jelas sekali terlihat pengaruh pengajian yang mereka ikuti dengan pembangunan rasa solidaritas dan pengukuhan integrasi antara mereka. Ditambah dengan peran seorang ketua dalam kelompok sosial keagamaan tersebut, yang bisa membentuk pribadi dan mengorganisir anggota kelompoknya, maka integrasi ataupun penyatuan yang dilakukan akan semakin mudah.

Jadi bisa dikatakan bahwa faktor yang menjadi pemersatu anggota kelompok pengajian tersebut adalah karena adanya rasa ukhuwah sesama ummat islam, terlebih mereka dalam satu kelompok pengajian. Dan peran pengajian terhadap integrasi kolompok dapat dilihat melalui ilmu-ilmu yang mereka dapatkan di pengajian, terlebih karena adanya doktrin agama yang mereka dapatkan dalam pengajian tersebut.

  1. E.     Interaksi yang Terjadi dalam Kelompok Sosial Keagamaan

Interaksi yang berlangsung antara anggota pengajian sebagaimana biasanya interaksi individu-individu dalam suatu kelompok. Dalam kelompok pengajian yang berlangsung secara intensif ini membangun interaksi yang semakin intim antar anggotanya. Namun dalam hal ini interaksi yang dimaksudkan adalah interaksi yang terjalin melalui komunikasi antar ketua kelompok pengajian (ustaz) dengan anggota kelompok pengajian. Namun berdasarkan data yang kami peroleh, terdapat perbedaan di antara kedua kelompok pengajian yang kami teliti, yakni kelompok pengajian mahasiswa dengan kelompok pengajian ibu-ibu. Pada kelompok mahasiswa, kami menilai bahwa sikap para anggota terhadap si ustaz sebagai pemimpin kelompok terkesan biasa saja. Tidaka ada kepatuhan mutlak dari para anggota, tidaka ada doktrin yang kuat dari sang ustaz, karena dalam berbagai hal anggota kelompok pengajian yang terdiri dari mahasiswa bisa kapan saja mengajukan pertanyaan, bahkan mengkritik doktrin agama yang disampaikan. Hal ini disebabkan karena latar belakang mereka adalah seorang mahasiswa yang notabene, mahasiswa adalah orang-orang yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi, dan secara otomatis selalu berifat kritis dalam segala hal yang mereka temui, termasuk dalam ilmu agama yang mereka dapat.

Berbeda halnya dengan kelompok pengajian ibu-ibu. Karena anggotaya terdiri dari  ibu-ibu. Maka ajaran agama yang disampaikan lebih mudah, mereka lebih mudah terdoktrin karena, ibu-ibu tersebut tidak memiliki rasa kritis seperti mahasiswa tadi. Sehingga interaksi yang terjadi antara ustaz dengan anggota pengajian bisa dikatakan sepihak, yakni anggota pengajian memiliki kepatuhan yang lebih kuat kepada pemimpin kelompoknya.

  1. F.     Pengaruh Pengajian Terhadap Pembentukan Karakter Anggota
  1. 1.         Karakter Mahasiswa

Pembentukan kepribadian bermula dari semenjak kelahiran indivu, dimana secara normal kelompok primerlah yang mengajarkan pertamakali dan selanjutnya kelompok-kelompok skunder yang kemudian menamkan pola-pola perilaku berikutnya. Dalam pengajian yang kami teliti, sebagaimana telah diterangkan diatas bahwa sejak kecil para anggota telah mendapatkan pengajaran keislaman sehingga kepribadian mereka sudah terbentuk sejak kecil.

Pengajian berpengaruh kepada karakter anggota-anggotnya. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa dalam pengajian terdapat proses penanaman nilai-nilai kepada anggotanya. Niali-nilai yang ditanamkan nantinya akan membentuk kesadaran anggotanya sebagai orang yang “beragama”. Sehingga mereka akan senantiasa melaksanakan ajaran agama. Penanaman nilai itu bersifat intens, sehingga semakin membentuk kesadaran anggotanya. Selanjutnya anggota pengajian tersebut akan mengaplikasikan nilai-nilai yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari.

Karakter ini juga dibentuk melalui latihan-latihan dan perhatian yang cukup dari ustadz mereka. Misalnya dalam setiap minggu dilakukan evaluasi amal harian sebagai tolak ukur keberhasilan pengajian berdayarkan amalan harian seperti, berapa jus membaca al-Qur’an dalam seminggu, solat jamaah, solat sunah, dan pertanyaan seputar ibadah dan amal sosial. Jadi didalam pengajian tersebut para anggota dituntut untuk mendakwahkan apa yang telah didapat dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, dan anggotanyapun diwajibkan mengikuti kelompok studi ataupun organisasi untuk mengembangkan diri para anggotanya.

Dalam kehidupan sehari-hari mereka berusaha menanamkan nilai-nilai islam dalam kehidupannya misalkan dalam bergaul, ketika mereka saling bertemu mereka mengucapkan salam dan saling bersalaman menurut tradisi islam. Dalam pemangilan nama misalnya mereka memanggil nama teman mereka dengan spaan  “akhi (saudaraku)” untuk laki-laki, dan ukhti (saudara perempuanku). Untuk pola pikir sendiri mereka cenderung bersifat islam normatif misalnya dalam bergaul dengan yang bukan muhrimnya mereka memberikan batasan-batasan tertentu dan menjaga tingkah laku mereka berdasarkan norma yang diajarkan islam.

Sebagaimana telah diterangkan dalam ranah integrasi kelompok diatas, mereka dilatih untuk saling tolong menolong kepada sesama umat islam yang implikasinya tentu juga meningkatkan pola prilaku dari para anggota. Perilaku keindividuan ini ditekan dengan kepentingan kelompok sehingga mereka melakukan pembatasan-pembatasan atas suatu hal yang diangap tidak baik.

  1. 2.      Karakter Ibu-Ibu Pengajian

Dari proses penanaman nilai-nilai keislaman yang terjadi dalam pengajian tersebut secara tidak langsung membentuk karakter anggotanya. Dalam pengajian ibu-ibu, isi taisyiah yang disampaikan juga mengenai tata cara bergaul dengan tetangga atau sedikit menyinggung tentang lingukangan sekitar mereka. Terkhusus mereka adalah pengajian warga Sapen, jadi mereka juga membicarakan apa yang terjadi dalam lingkungan mereka, juga problem-problem yang sedang diibicarakan oleh warga sekitar. Karakter di sini maksudnya adalah, tingkah laku yang menjadi kebiasaan mereka. Tentunya karena telah mendapatkan penanaman nilai-nilai keislaman secara intens, makan karakter mereka akan mengikuti nilai-niai yang telah ditanamkan tersebut. Mereka mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun pada kenyataannya juga, banyak yang tidak mengaplikasikan apa yang telah mereka dapatkan di pengajian tersbut.

BAB V

PENUTUPAN

  1. A.    Simpulan

     Bedasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka kami dapat mengambil kesimpulan bahwa, kelompok sosial keagamaan seperti pengajian memiliki peran yang besar daam pembentukan ingtrasi antar anggota kelompok, juga memiliki peran yang besar dalam pembentukan krakter anggota kelompok. Namun di samping fungsi manifest yang terdapat pada kelompok pengajian ini, terdapat juga fungsi laten, yaitu sebagai wadah sosialisasi dan interaksi antar anggota, dan fungsi-fungsi lainnya termasuk fungsi ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Abercrombie, Nicholas dkk. 2010. Kamus Sosiologi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Goodman, Douglas. J, dan George Ritzer. Sociological Theory. Terjemaah: Nurhadi. 2010. Teori Sosiologi. Yogyakarta. Kreasi Wacana

Jhonson, Doyle. P. Sociological Theory: Classical Founders and Contemporary Perspectives. Terjemah: Rober M.Z. Lawang. 1990. Teori Sosiologi: Klasik dan Modern. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama

Ritzer, George. 2010. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada

Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada

LAMPIRAN

PERTANYAAN WAWANCARA KELOMPPK PENGAJIAN IBU-IBU

  1. Sejak kapan pengajian ini dibentuk?
  2. Siapa saja anggota pengajian?
  3. Kapan saja pelaksanaan waktu dan tempat pengajian?
  4. Apa motivasi mengikuti pengajian?
  5. Apa manfaat yang dirasakan oleh anggota pengajian setelah mengikuti pengajian ini? (dampak spiritual dan sosial)
  6. Bagaimana kedekatan atau hubungan sosial (interaksi ) yang dirasakan antar anggota pengajian?
  7. Apakah  ada kegiatan lain seperti bakti sosial yang dilakukan oleh kelompok pengajian ini selain pengajian?
  8. Apakah  kelompok pengajian ini memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar, khususnya bagi warga Sapen?

Pertanyaan wawancara kelompok pengajian mahasiswa

1.  Apa motivasi para nggota mengikuti pengajian dan mengapa masuk ke dalam pengajian ini?

2.

3.


[1]  Dwi Narwoko dan Bagong suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2010). hlm. 84

[2] Wawancara peneliti terhadap ustadz kelompo tersebut, yaitu ustan M. Jamaludin


Kelompok  II

Edi Hermawan

Andi Rahmat

Aminah

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.    Penegasan Judul

Penelitian ini berjudul “ studi pengaruh unifikasi masjid dan masyarakat islam dalam membangun masyarakat islamis” dimana penulis akan mencoba untuk meneliti fenomena-fenomena yang ada pada masjid dan masyarakat islam disekitar masjid gendeng dalam memembanguan masyarakat islamis.

  • Unifikasi

Setiap melakukan sesuatu yang berorientasi pada tujuan tertentu dan berkaitan dengan sesuatu yang lain maka kesatuan partisipatif diantara setiap sesuatu yang berkaitan tersebut adalah sebuah hokum keniscayaan. Jadi pengertian frase tersebut merujuk kepada makna kerjasama  partisipatif dalam mencapai suatu tujuan.

  • Masjid

Adalah media keagamaan ditengah-tengah masyarakat dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai keislaman dan juga merujuk terhadap lokasi penelitian, yaitu RT/RW 77/18 kampung gendeng, kelurahan baciro kec. Gondokusuma, kota Yogyakarta.

  • Masyarakat Islam

Yang dimaksud dengan masyarakat islam di sini adalah masyarakat yang beragama islam (baik secara administrative atau kultur) yang berada disekitar masjid al-Iman baik masyarakat asli ataupun pendatang termasuk mahasiswa.

  • Masyarakt Islamis

letak penekanan masyarakat islamis adalah masyarakat yang memiliki karakter keislaman di setiap aspek kehidupannya baik formal ( di masjid atau di tengah-tengah masyarakat itu sendiri) maupun non formal ( sosial, politik dan budaya), artinya terdapatnya nilai-nilai keislaman di dalam masyarakat tersebut yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari.

  1. B.     Latar Belakang

Masjid dan masyarakat islam merupakan kesatuan entitas yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa masjid adalah representasi riil dari masyarakat islam yang difungsikan sebagai mendiator dan pembangun peradaban islam, khususnya dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai keislaman terhadap masyarakat setempat. Di dalam masyarakat islam melakukan kegiatan-kegiatan yang tentunya identik dengan islam dan melingkupi setiap aspek kehidupan masyarakat. Setiap agenda atau kegiatan yang dilakukan di dalam tempat sakral tersebut diharapkan dapat memberikan sumbangsi positif di setiap dimensi kehidupannya. Dengan demikian masyarakat tersebut dapat kita katakana sebagai masyarakat yang memiliki karakter keislaman, dengan indikasi terobjektifikasinya nilai-nilai keislaman yang telah terinternalisasi dalam diri masyarakat itu sendiri.

Karena kedua entitas tersebut menjadi satu kesatuan yang saling berkaitan dan tidak mungkin untuk dipisahkan dalam membanguan masyarakat islamis, maka peran aktif partisipatif di antara keduanya adalah suatu keharusan. Masjid sebagai mediator terus melakukan upaya-upaya yang dapat menghubungkan nilai-nilai keislaman dengan masyarakat dalam bentuk proses sosialisasi. Begitu halnya dengan masyarakat, mereka harus menyiapkan diri untuk menginternalisasi dan mengobjektifikasi nilai-nilai tersebut. Hanya dengan inilah masyarakat berkarakter islam akan terbangun kokoh dan dinamis.

Akan tetapi realitas selalu berbicara berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran atau idealism. Terkadang kita menemukan masjid sama sekali tidak melakukan apapun kecuali hanya ritual-ritual biasa ( shalat berjama’ah, pengajian, buka puasa), tanpa memperhatikan sesuatu yang semestinya menjadi tujuan dan semua itu nampak transenden dari kehidupan masyarakat. Sifat apatis tersebut juga terdapat dalam masyarakat, tanpa di sadari apa yang mereka lakukan sama sekali tidak memberikan bekas terhadapa kehidupannya. jika kita mengandaikannya, kegiatan tersebut tidak lebih dari suatu kebiasaan yang menafiakan kesadaran. Disinilah masjid menjadi teralienasi dari kehidupan masyarakat, terbagun gap yang jauh antara masjid dan kehipan masyarakat. Padahal masjid merupakan mediator dan masyarakat sebagai representator, subjek sekaligus objek dari masjid.

Ketika masjid sudah berdiri kokoh di tengah-tengah masyarakat yang diaharapkan dapat memberikan manfaat atau membantu masyarakat islam untuk menemukan islam sejati maka sudah menjadi keharusan suatu kerja sama, aktif, partisipatif di antara keduanya dalam mewujudkan tujuan tersebut.

Berdasarkan urain di atas penelitian ini dirasa sangat penting untuk dilakukan. Penelitian ini juga dimaksudkan mencari tahu bentuk-bentuk kesatuan dua entitas tersebut dalam membangun masyarakat islamis dan faktor-faktor apa sajakan yang menghambat pencapaian tersebut.

  1. C.    Rumusan Masalah
  2. Adakah kegiatan-kegiatan yang mendukung terhadap terbangunnya masyarakat islamis di masjid tersebut?
  3. Bagaimana masjid selaku mediator dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai keislaman terhadap masyarakat sekitar?
  4. Seberapa besar pengaruh kondisi individu atau masyarakat secara material atau non material terhadap pembangunan masyarakat islamis?
  5. Seberapa kuat intensitas masjid dan masyarakat dalam mengawal proses pembanguanan masyarakat islamis tersebut?
    1. D.    Tujuan Penelitian
    2. Mangetahui bentuk-bentuk kegiatan yang ada pada masjid dan masyarakat yang mendukung terhadap pembangunan masyarakat islamis.
    3. Mengetahui kegiatan masjid sebagai sentral sosialisasi nilai-nilai keislaman terhadap masyarakat setempat.
    4. Mengetahui besarnya pengaruh kondisi individu atau masyarakat dalam membangun masyarakat islamis.
    5. Mengetahui intensitas masjid dan masyarakat setempat dalam mengawal proses pembanguanan masyarakat islamis.
    6. Mengetahui bentuk-bentuk karakter islam yang terwujud dalam masyarakat.
      1. E.     Manfaat Penelitian
      2. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masjid dan masyarakat setempat pada umumnya untuk di jadikan pedoman atau bahan koreksi, khususnya dalam pembangunan masyarakat yang berkarakter islam.

  1. Secara Praksis

Dapat membantu dan menambah wacana di masjid dan masyarakat tersebut, khusunya dalam menghadapi berbagai problem yang mengahambat pembangunan tersebut.

  1. F.     Landasan Teori

Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan dirinya sendiri, mereka harus melakukan interaksi dengan sesamanya untuk saling menutupi kekurangan tersebut.  Manusia hanya akan diakui sebagai manusia ketika sudah terbangun relasi dengan manusia yang lain (eksentris) sehingganya manusia disebut makhluk sosial.

Eksistensi manusia yang demikianlah yang membuat manusia harus membangun relasi yang seimbang di antara sesamanya. Proses sosial atau kontak social inilah yang kita sebut dengan interaksi. Di dalam interaksi manusia melakukan sosialisasi dan internalisasi, termasuk juga denga relasi manusia dengan alam, untuk saling menyeimbangkan di antara keduanya demi satu keharmonisan.

Uraian diatas cukup menjadi dasar akan pentingnya kekuatan kritis konstruktif terhadap mediasi yang berorientasi pada arah tertentu dengan nilai-nilai tertentu,”… individu-individu masyarakat manusia menguasai sejumlah norma-norma di dalam dirinya bukan karena proses kodrati, melaikan memperolehnya melalui proses-proses belajar (learning process) atau menurut istilah teknis sosiologis-“proces social”.[1]

Realitas social tidaklah stagnan melaikan terus berubah dalam proses dialektis, artinya masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. Perubahan masyarakat bergerak dalam proses internalisasi, objektivikasi, dan eksternalisasi.[2] Sebab itulah masyarakat menciptakan media agar memudahkan mereka dalam mengawal dan mengarahkan proses perubahan social tersebut, meskipun pada akhirnya tiga hal tersebut tetap bersifat dialektis.

  1. G.    Hipotesis

Bedarasarkan rumusan masalah dan kerangka teori di atas hipotesis yang diajukan sebagai berikut :

Ada perbedaan intensitas partisipasi antara masjid dan masyarakat dalam proses pembangunan masyarakat yang berkarakter islam sesuai dengan kondisi objektifnya.

  1. H.    Metode Penelitian
  2. Penentuan Subjek

Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah masjid dan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitas masjid tersebut. Dalam hal ini diperlukan sumeber data yang dapat memberikan informasi mengenai penelitian ini. Untuk mempermudah mengidentifikasi sumber data penulis merujuk kepada buku yang ditulis prof. dr. suhardi arikunto, prosedur penelitian, suatu pendekatan praktek, Jakarta : PT Asdi Mahasatya, 2006, yaitu pembagian sumber data yang diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan dan akan diuraikan lebih jelas di bawah ini :

  1. Person; sumber data yang berupa orang yang dapat memberikan data berupa jawaban lisan atau melalui wawancara atau jawaban tertulis.
  2. Place; sumber data yang berupa tempat yang dapat menyajikan informasi berupa data diam atau bergerak. Diam, misalnya ruangan, kelengkapan alat, wujud, benda, warna dll, bergerak, misalnya aktivitas, kinerja, kegiatan dll.
  3. Paper; sumber data berupa symbol yang dapat menyajikan dapat berupa tanda-tanda seperti huruf, angka, gambar atau symbol-simbol lain. Sumber ini sangat cocok untuk penggunaan metode dokumentasi.

Berdasarkan uraian diatas dan untuk mempertegas penelitian ini penulis menentukan sumber data atau responden sebagai berikut ;

  1. Masjid

Yaitu setiap apa saja yang terdapat di masjid tersebut baik berupa benda maupun aktivitas. Ini dirasa penting karena masjid merupakan sabjek penelitian yang memiliki peran besar dalam pembangunan masyarakat berkarakter islam.

  1. Tajmir Masjid

Yaitu orang-orang yang mengurui masjid tersebut. Takmir masjid dipilih sebagai sumber data karena memiliki keterkaitan paling erat dengan masjid.

  1. Jama’ah

Dalam hal ini jama’ah yang dipilih sebagai sumber data atau responden adalah masyarakat sekitar masjid dan aktiv mengikuti kegiatan-kegiatan masjid.

  1. Masyarakat Sekitar

Masyarakat yang berposisi sebagai subjek dan objek dalam pembangunan masyarakat islamis tersebut dirasa sangat penting untuk dijadikan subjek penelitian sehingganya informasi yang didapat langsung merujuk kepada actor.

  1. Instrument Pengumpulan Data
    1. Interviu (Interview)

Interviu disebut juga dengan wancara atau kuisioner lisan, adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari dari subjek penelitian. Metode ini berguna untuk menyempurnakan atau melengkapi data-data yang diperoleh dari observasi. Tehnik yang digunakan interviu bebas terpimpin, yaitu kombinasi antara interviu bebas dan terpimpin.

  1. Metode Observasi

Metode observasi adalah metode pengumpulan data melalui pengamatan, penciuman, peraba, dan pengecap. Apa yang dikatakan ini sebenarnya adalah pengamatan langsung. Metode ini digunakan untuk mendapatkan informasi tentang kegiatan-kegiata yang ada di masjid dan masyarakat sekitar.

  1. I.       Analisis Data

Dalam menganalisis data yang telah terkumpul, penulis menggunakan analisis diskriptif non-statistik karena data yang terkumpul lebih banyak data yang bersifat kualitatif. Seperti interviu dan observasi diguankan untuk memperjelas data dalam penelitian.

Untuk menganalisis data yang terhimpun dipergunakan metode berpikir induktif, yaitu menarik kesimpulan dari fakta-fakta khusus yang tersedia.

BAB II

GAMBARAN UMUM

Masjid al-Iman dan Masyarakat di Sekitarnya

Memasuki masjid al-iman, pertama kali kita akan disuguhi dengan aura keislaman yang sangat khas, karakter tersebut tercermin di setiap sudut masjid, tembok-tembok, dan aktivitas-aktivitas yang terdapat di dalamnya. Masjid ini memiliki fasilitas yang cukup memadai dalam upaya melaksanakan tugasnya. Mungkin terasa aneh untuk mereka yang tidak terbiasa dengan pola bangunan masjid yang seperti biasa diketahui masyarakat pada umumnya. Di dalam masjid tersebut tidaklah berdiri tembok-tembok sebagai pemisah antara laki-laki dan perempuan, tabir tersebut diganti dengan kain-kain yang menjadi pembatas antara laki-laki dan perempuan.

Sebagaimana masjid pada umumnya, di dalamnya kita juga akan menemukan lemari dan rak-rak yang berisi al-quran, jenis kitab-kitas islam, seperangkat alat sholat, papan pengumuman sekaligus madding yang ditempeli berbagai tulisan islamis, serta berbagai macam literature-literatur keagamaan lainnya. tidak kalah menarainya, masjid tersebut tidak hanya dijadikan tempat melakukan ritual-ritual keagamaan saja, seperti yang akan kita temukan pada papan nama masjid tersebut, bahwa masjid tersebut berdiri di bawah asuhan yayasan pendidikan dan social, maka tidak heran apabila di dalamnya terdapat aktivitas pendidikan, misalnya taman     pendidikan al-quran.

Masjid al-iman tersebut  terletak di sebelah selatan rel kereta api, tepatnya selatan kampus uin sunan kalijaga, desa Baciro, rumah-rumah di sekitar masjid tersebut berdiri sangat berdekatan baik dengan masjid maupun dengan rumah masyarakat yang lain. Keadaan yang demikian itu sama sekali tidak menyulitkan masyarakat untuk berinteraksi dengan masji secara langsung dan inten. di lihat dari fisik, masyarakat tidak terpisah dengan masjid yang nota bene sebagai pusat aktivitas ummat islam yang bermukim di sekitarnya.

Bukan hanya masyarakat asli daerah tersebut tinggal di sekitar lingkungan masjid al-iman tersebut, banyak pula mahasiswa yang dapat berinteraksi langsung dengan masjid, bahkan takmir yang di tugaskan untuk mengurus masjid al-iman ini adalah mahasiswa. Hal ini bukan hal yang tidak mungkin keterlibatan mahasiswa dalam berbagai aktivitas masyarakat, lebih-lebih dengan kegiatan masjid.

Dalam hal agama pun masyarakat di sekitar masjid tersebut memiliki perbedaan, begitu pula dengan keberislaman mereka.[3] Dan tentunya ini juga memiliki implikasi tertentu terhadap pembentkan masyarakat islam yang dimotori oleh masjid. Lebih lanjut bapak Sam’i mengatakan bahwa identitas keagamaan masyarakat lepas ketika berada di ruang publik, artinya masyarakat tersebut disatukan oleh kultur lokal, tidak dengan identitas keagamaan.

Keragaman karakter yang terdapat dalam masyarakat ini menjadi khas. Mereka tidak hanya sekedar hidup bermasyarakat, khususnya keberadaan masjid sebagai media dakwah dan media yang mensosialisasikan nilai-nilai keislaman. Dengan hal tersebut, sudah tidak mustahil lagi apabila terdapat berbagai kendala yang dihadapi masji al-iman ini.

BAB III

PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

  1. A.    Persiapan Penelitian

Penulis terlebih dahulu melakukan beberapa proses perizinan sebelum mengadakan penelitian. Walaupun tanpa menggunakan surat izin resmi dari universitas negeri sunan kalijaga, izin dirasa tetap menjadi hal yang penting, yaitu kepada ketua takmir masjid dan RT setempat, kampung gendeng, kelurahan baciro kec. Gondokusuma, kota Yogyakarta.

  1. B.      Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan cara interviu dan observasi yang dilaksanakan mulai tangal 13 maret 2011 sampai tanggal 18 maret 2011, di masjid dan masyarakat yang bermukim di sekitar masjid al-iman tersebut. Selama dalam waktu penelitian tersebut kami mencoba untuk mengamati setiap fenomena-fenomena yang terjadi di lokasi tersebut, serta dengan melakukan interviu dengan beberapa responden.

Takmir masjid dan masyarakat sekitar masjid kami jadikan responden atau subjek penelitian. Selain itu, kami juga melakukan observasi, misalnya ikut berjama’ah di masjid tersebut, interviu pun juga kami lakukan terhadap ketua takmir yang berasal dari masyarakat sekitar masjid itu sendiri. Dan kebetulan ketua takmir yang kami interviu tersebut juga menjabat sebagai ketua RT, interviu dilakukan selama ± 1 jam setengah.

Interviu juga dilakukan terhadap mahasiswa yang tinggal di sekitar masjid tersebut. Hal ini kami rasa penting, karena bagaimanapun terdapat sebagian mahasiswa yang terlibat aktif dalam kegiatan masjid, tidak hanya dalam melaksanakan shalat berjama’ah, akan tetapi juga pada kegiatan-kegiatan pengajian. Keterlibatan inilah yang pastinya akan menjadi bagian dari sakian penentu terhadap karakter masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas sudah sangat jelas bahwa penelitian ini menggunakan metode interviu dan observasi dalam melakukan pengambilan data. Sebagaimana yang telah kami paparkan di atas bahwa sumber data dalam penelitian ini adalah masjid, takmir masjid, masyarakat yang tinggal di sekitar masjid termasuk mahasiswa. Terlebih takmir masjid tersebut adalah mahasiswa, takmir ini berbeda dengan takmir yang berasal dari kalangan masyarakat asli desa sendiri. Takmir yang berasal dari mahasiswa ini bertugas menjalankan atau mengerakkan kegiatan-kegiatan yang ada di masjid al-iman tersebut. Mereka juga bertanggung jawab atas berjalannya setiap kegiatan yang telah terprogram atau yang perlu di programkan.

  1. C.    Identifikasi Data

Di sini peneliti akan mendiskripsikan berbagai data yang di dapat dari lapangan dengan menggunakan metode interviu dan observasi. Mungkin metode pengumpulan seperti ini masih terlihat sederhana, akan tetapi peneliti berharap semoga hasil penelitian ini memberikan konstribusi, meskipun tidak sempurna.

  1. Interviu

Pertama, takmir berasal dari kalangan masyarakat sekitar masjid[4]. Ketua takmi banya menceritakan tentang berbagai kondisi masyarakat dan takmir masjid al-iman itu sendiri yang berasal dari mahasiswa dan diberi tugas untuk menjalankan setiap kegiatan yang berada di masjid tersebut. Berbagai pertanya yang kami ajukan terhadap beliau di antaranya ; seberapa jauh keterlibatan masyarakat dengan masjid? Apa sajakah kegiatan yang terdapat di tengah masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai keislaman? Seperti apa bentuk interaksi masyarakat di sekitar masjid tersebut? Dan apakah ada kegiatan kemasyarakatan yang melibatkan takmir masjid?

Beliau mengaktan bahwa terdapat hubungan yang cukup erat antara masyarakat dan masjid, hubungan ini dibuktikan dengan partisipasi mereka dalam mengikuti shalat berjama’ah dan berbagai kegiatan yang di selenggarakan masjid. Kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam mayarakat yang terliah memiliki nuansa keislaman, misalnya yasinan, tahlil, dan selamatan. Seperti inilah bentuk-bentuk interaksi yang terdapat dalam masyarakat. Untuk kegiatan-kegiatan yang melibatkan takmir masjid secara langsung jarang belau temukan, sebab dalam masyarakat tersebut sudah terdapat seseorang yang ditokohkan dan diberi mandate dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut.[5]

Kedua, takmir yang berasal dari mahasiswa yang ditempatkan di masjid tersebut dan ditugaskan untuk menjalankan setiap agenda masjid. Terdapat beberapa pertanyaan yang kami wawancarai dalam hal ini, diantaranya ; ada berapakah takmir masjid al-iman? Apa sajakah tugas takmir masjid? Apa sajakan kegiatan yang terdapat di masjid ini? Bagaimana hubungan takmir masjid dan masyarakat yang tinggal di sekitar masjid al-iman?

Di masjid terdapat 5 takmir, takmir ini bertanggung jawab terhadap setiap apa yang terdapat di masjid, mulai dari mengadakan sampai menjalankan. Selama ini kegiatan yang terdapat dalam masjid tersebut diantaranya ; pembacaan al-quran dan al-hadis setelah shalat maghrib berjamaah, pengajian umun setiap satu bulan satu kali, shalat berjamaah lima waktu dll. Dalam masjid tersebut terdapat pula TPA ( taman pintar al-quran) yang dilaksanakan tiga kali seminggu. Sedangkan hubungan masyarakat dan takmir masih menunjukkan gap yang begitu mencolok, keduanya tidak memiliki komunikasi intim.[6] Sehingganya masyarakat dan masjid tampak seperti tidak ada hubunngan.

Ketiga, interviu dengan masyarakat sekitar termasuk mahasiswa. Kami mengajukan pertanyaan tentang seperti apa kondisi masyarakat tersebut? Adakah kegiatan yang terdapat di tengah masyarakat yang mencerminkan keislaman?

Yang tampak dimata ketua takmir adalah bahwa kondisi social di sekitar masjid tersebut cukup khas. Dalam masyarakat tersebut terdapat berbagai macam agama atau model-model kepercayaan dominan yang terdapat dalam masyaraka. Keadaan semacam ini mengharuskan ummat islam dan masjid untuk bersikap lebih selektif. Hal yang tidak kalah menarik bahwa walaupun terdapat agama atau bentuk kepercarayan yang berbeda dalam masyarakat, mereka tetap tersatukan dengan kultur yang mereka bangun bersama-sama ( kearifan local).[7]

  1. Obeservasi

Observasi ini di lakukan mulai tanggal 13-18 maret 2011. Dalam menggunakan instrument penggalian data semacam ini peneliti mengikuti berbagai kegiatan yang ada di masjid tersebut. Selama dalam kurun waktu tersebut peneliti benar-benar memaksimalkan perhatian terhadap berbagai fenomena yang terdapat pada masji dan masyarakat tersebut. Berturut-turut ditemukan berbagai fenomena menarari ;

  1. Rata-rata jamaah pada umummnya sudah berusia lanjut. Jikapun ada pemuda dan pemudinya sangat minim sekali.
  2. Kepadatan penduduk di sekitar masjid tidak terakumulasi di dalam masjid, bahkan hal ini hanya terjadi dalam keadaan tertentu, misalnya bulan ramadhan, hari raya idul adha, dan hari-hari besar lainnya.
  3. Warga yang ikut berjamaah tetap orang-orang yang biasa terlihat setiap harinya dekat dengan masjid.
  4. Sulit menemukan anak yang berumur 15 tahun memiliki hubungan yang amat dekat denga masjid.
  5. Setiap jamaah yang hadir dalam melaksanakan ritual-ritual hanya terliahat sebagai sebuah kegiatan rutinitas tanpa memberikan cerminan yang identik di setiap dimensi kehidupan mereka.
  6. fasilitas yang memadai dan ini memungkinkan jamaah untuk mengakses pengetahuan tetang islam lebih dalam.

Dari sekian fenomena atau fakta-fakta yang kami dapatkan di lapangan akan dijadikan bahan analisis untuk sampai pada kesimpulan akhir.

  1. D.    Analisis Diskriptif

Seperi yang telah penulis uraikan  pada bab pendahuluan, analaisis ini akan menggunanakan analisis diskriptif non-statistik karena data yang terkumpul adalah bersifat kualitatif. Untuk sampai pada kesimpulan peneliti menggunakan metode berpikir induktif, yaitu berangkat dari fakta-fakta khusus dan menyimpulkannya. Bentuk teori yang dipakai lebih dekat dengan teori fungsionalisme, artinya penelitian ini banyak menerakan fungsi-fungsi institusi keagamaan sebagai media dalam masyarakat untuk prosese sosialisasi, dan mayarkat yang bersisi sebagai subjek sekaligus objek realitas yang akan dibangunnya.  Singkatnya penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi sejauh mana keasatuan dua entitas antara masjid dan masyarakat dalam membentuk mayarakat yang berkarakter islam.

Bukan sesuatu yang mudah untuk setiap individu masyarakat dalam melakukan penbentukan dirinya. Di setiap masyarakat terdapat media untuk menjembatani nilai-nilai yang semestinya dapat diterapkan dalam masyarakat tersebut, seperti keluarga , organisasi, sekolah, masjid dan lain sebagainya. Yang terpenting disini bukan posisi media dan masyarakat, melaikan kesatuan keduanya dalam mengawal proses sosialisasi dan internalisasi untuk diarahkan pada tujuan tertentu.

Berdasarkan data diatas sudah dapat dipastikan bahwa terdapat ketidak seimbangan antara masjid dan masyarakat di sekitar masjid. pengajian yang masih jarang, lebih-lebih partisipasi masyarakat masih sangat minim.[8] Demikian ini dapat kita temukan di setiap kegiatan rutin yang dilaksanakan masjid tersebut,  maka sudah menjadi konsekuensi logis terhadap masyarakat islam itu sendiri untuk membangun masyarakat islamis. Proses pembentukan masyarakat yang berkarakter islam tersebut tidak mendapatkan posisi yang seharusnya.

BAB IV

KESIMPULAN

Kelemahan dalam kesatuan dua entitas tersebut sangat mencolok, meskipun telah ada beberapa kegiatan yang teragendakan. Masyarakat terasing dari masjid, hal ini tanpak dari hubungan takmir masjid dengan masyarakat sekitar yang masih sangat asing. Hal demikian juga didukung dengan latar belakang takmir berbeda-beda dan bukan berasal desa tersebut sehingganya walaupun mereka mengemban tugas untuk memobilisasi masyarakat menjadi terhambat.

 


[1] J. Dwi Narwoko Dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan, ( Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004), hal 74.

[2] Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta : PT Grafindo Persada 2010), hal 302.

[3] Wawancara dengan RT kampong gendeng, bapak Sam’i, tgl 16 maret 2011.

[4] Nama ketua takmir yang berasal dari kalangan masyarakat tersebut adalah Ust. Sam’i, selain sebagai ketua takmir ia juga menjabat sebagai ketua rt di kampong tersebut.interviu ini kami laksanakan sekitar 1 setengah jam.

[5] Wawancara dengan ustd Sam’i, tanggal 15 maret 2011.

[6] Wawancara dengan takmir masjid, Moh. Yusuf,  yang berasal dari mahasiswa, 15 maret 2011.

[7] Wawan cara dengan RT desa tersebut, tanggal 15 maret 2011.

[8] Wawancara dengan moh. Yusuf, tangal 15 maret 2011.